PENDAHULUAN
 Islam adalah  agama yang sanagat menjunjung tinggi moral dan kesucian pengikutnya,  Islam sangat melarang keras semua jenis perbuatan yang berhubungan  dengan zina, dalam makalah kali ini penulis akan mencoba membahas  mengenai persoalan yang saat ini tengah marak dilakukan dikalangan  pemuda/pemudi Indonesia atau kususnya kaum muslimin itu sendiri,  persoalan yang dimaksud tersebut yaitu onani/masturbasi, yaitu  mengeluarkan mani dengan tangan sendiri dengan maksud mencari kenikmatan  untuk dirinya.
Penulis akan mencoba membahas mengenai hokum dari onani/masturbasi tersebut, bagaimana kadar dosanya serta bagaimana pandangan ulama-ulama muslim mengenai hal tersebut beserta dalil yang menyebutkan tentang hokum onani tersebut.
Penulis akan mencoba membahas mengenai hokum dari onani/masturbasi tersebut, bagaimana kadar dosanya serta bagaimana pandangan ulama-ulama muslim mengenai hal tersebut beserta dalil yang menyebutkan tentang hokum onani tersebut.
 Semoga makalah  yang kami buat dapat menambah pengetahuan kita mengenai persoalan yang  tengah marak dikalangan pemuda muslim pada zaman sekarang ini dan semoga  dapat diambil pelajaran dan dapat memberikan hikmah bagi yang membaca  makalah ini.
 Permasalahan Hukum Onani/Masturbasi dan Dalil-dalilnya.
 Permasalahan  onani/masturbasi (istimna’) adalah permasalahan yang telah dibahas oleh  para ulama. Onani adalah upaya mengeluarkan mani dengan menggunakan  tangan atau yang lainnya. Hukum permasalahan ini ada rinciannya sebagai  berikut:
 1. Onani yang  dilakukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh lainnya dari istri atau  budak wanita yang dimiliki. Jenis ini hukumnya halal, karena termasuk  dalam keumuman bersenang-senang dengan istri atau budak wanita yang  dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.Demikian pula hukumnya bagi  wanita dengan tangan suami atau tuannya (jika ia berstatus sebagai  budak). Karena tidak ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan  hingga tegak dalil yang membedakannya. Wallahu a’lam. 
 2. Onani yang  dilakukan dengan tangan sendiri atau semacamnya. Jenis ini hukumnya  haram bagi pria maupun wanita, serta merupakan perbuatan hina yang  bertentangan dengan kemuliaan dan keutamaan. Pendapat ini adalah madzhab  jumhur (mayoritas ulama), Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu, dan  pendapat terkuat dalam madzhab Al-Imam Ahmad rahimahullahu. Pendapat ini  yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah (yang diketuai oleh  Asy-Syaikh Ibnu Baz), Al-Albani, Al-’Utsaimin, serta Muqbil Al-Wadi’i  rahimahumullah.
 Dalilnya adalah keumuman firman Allah SWT yang artinya:
 “Dan  orang-orang yang menjaga kemaluan-kemaluan mereka (dari hal-hal yang  haram), kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak wanita yang  mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Barangsiapa  mencari kenikmatan selain itu, maka merekalah orang-orang yang melampaui  batas.” (Al-Mu’minun: 5-7)
 Perbuatan onani  termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat yang sifatnya  melanggar batasan syariat yang dihalalkan, yaitu di luar kenikmatan  suami-istri atau tuan dan budak wanitanya. 
 Sebagian ulama  termasuk Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berdalilkan dengan  hadits ‘Abdillah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
  “Wahai  sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu menikah,  maka menikahlah, karena pernikahan membuat pandangan dan kemaluan lebih  terjaga. Barangsiapa belum mampu menikah, hendaklah dia berpuasa, karena  sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.” (Muttafaq ‘alaih)
 Al-’Utsaimin  rahimahullahu berkata: “Sisi pendalilan dari hadits ini adalah perintah  Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi yang tidak mampu menikah untuk  berpuasa. Sebab, seandainya onani merupakan adat (perilaku) yang  diperbolehkan tentulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan  membimbing yang tidak mampu menikah untuk melakukan onani, karena onani  lebih ringan dan mudah untuk dilakukan ketimbang puasa.” 
 Apalagi onani  sendiri akan menimbulkan mudharat yang merusak kesehatan pelakunya serta  melemahkan kemampuan berhubungan suami-istri jika sudah berkeluarga
 Sedangkan  sekelompok sahabat, tabi’in, dan ulama termasuk Al-Imam Ahmad  rahimahullahu memberi toleransi untuk melakukannya pada kondisi tersebut  yang dianggap sebagai kondisi darurat.3 Namun nampaknya pendapat ini  harus diberi persyaratan seperti kata Al-Albani rahimahullahu dalam  Tamamul Minnah hal.420-421: “ Kami tidak mengatakan bolehnya onani bagi  orang yang khawatir terjerumus dalam perzinaan, kecuali jika dia telah  menempuh pengobatan Nabawi (yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu  ‘alaihi wa sallam), yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  kepada kaum pemuda dalam hadits yang sudah dikenal yang memerintahkan  mereka untuk menikah dan beliau bersabda:
  “Maka  barangsiapa belum mampu menikah hendaklah dia berpuasa, karena  sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.”
 Oleh karena itu,  kami mengingkari dengan keras orang-orang yang menfatwakan kepada pemuda  yang khawatir terjerumus dalam perzinaan untuk melakukan onani, tanpa  memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa “.
 Dengan demikian,  jelaslah kekeliruan pendapat Ibnu Hazm rahimahullahu dalam Al-Muhalla   dan sebagian fuqaha Hanabilah yang sekadar memakruhkan onani dengan  alasan tidak ada dalil yang mengharamkannya, padahal bertentangan dengan  kemuliaan akhlak dan keutamaan. 
 Penetapan kadar  dan sifat dosa yang didapatkan oleh seorang pelaku maksiat, apakah  sifatnya dosa besar atau dosa kecil harus berdasarkan dalil syar’i.  Perbuatan zina merupakan dosa besar yang pelakunya terkena hukum hadd.  Nash-nash tentang hal itu sangat jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. 
 Adapun  masturbasi/onani dengan tangan sendiri atau semacamnya (bukan dengan  bantuan tangan/anggota tubuh dari istri atau budak wanita yang  dimiliki), terdapat silang pendapat di kalangan ulama. Yang benar adalah  pendapat yang menyatakan haram. Hal ini berdasarkan keumuman ayat 5-7  dari surat Al-Mu’minun dan ayat 29-31 dari surat  Al-Ma’arij. Onani termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat  yang haram, karena melampaui batas syariat yang dihalalkan, yaitu  kenikmatan syahwat antara suami istri atau tuan dengan budak wanitanya. 
 Sifat onani yang  paling parah dan tidak ada seorang pun yang menghalalkannya adalah  seperti kata Syaikhul Islam dalam Majmu’ Al-Fatawa (10/574): “Adapun  melakukan onani untuk bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya sebagai  adat, atau untuk mengingat-ngingat/mengkhayalkan (nikmatnya menggauli  seorang wanita) dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang  digaulinya saat melakukan onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram.  Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengharamkannya, demikian pula selain  beliau. Bahkan sebagian ulama mengharuskan hukum hadd bagi pelakunya.” 
 Penetapan hukum  hadd dalam hal ini semata-mata ijtihad sebagian ulama mengqiyaskannya  dengan zina. Namun tentu saja berbeda antara onani dengan zina sehingga  tidak bisa disamakan. Karena zina adalah memasukkan kepala dzakar ke  dalam farji wanita yang tidak halal baginya (selain istri dan budak  wanita yang dimiliki). Oleh karena itu, yang benar dalam hal ini adalah  pelakunya hanya sebatas diberi ta’zir (hukuman) yang setimpal sebagai  pelajaran dan peringatan baginya agar berhenti dari perbuatan maksiat  tersebut. Pendapat ini adalah madzhab Hanabilah, dibenarkan oleh Al-Imam  Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud  Bab At-Ta’zir dan difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai  oleh Al-Imam Ibnu Baz rahimahullahu dalam Fatawa Al-Lajnah (10/259).
 C.    KESIMPULAN
Kesimpulannya,  masturbasi tidak bisa disetarakan dengan zina, karena tidak ada dalil  yang menunjukkan hal itu. Namun onani adalah maksiat yang wajib untuk  dijauhi. Barangsiapa telah melakukannya hendaklah menjaga aibnya sebagai  rahasia pribadinya dan hendaklah bertaubat serta memohon ampunan Allah  Subhanahu wa Ta’ala. Apabila urusannya terangkat ke mahkamah pengadilan,  maka pihak hakim berwenang untuk memberi ta’zir (hukuman) yang  setimpal, sebagai pelajaran dan peringatan baginya agar jera dari  perbuatan hina tersebut. Wallahu a’lam
 
 
 
 
 
 
 
