Pendahuluan
                Sejarah  tersiarnya suatu mazhab dalam Al-Fiqhul Islamy di suatu negri di dunia  Islam biasanya sedikit banyak adalah bertalian erat dengan sejarah  penyiaran agama Islam di negri itu sendiri. Ajatan-ajaran agama Islam  yang disiarkan oleh mubalighin pertama sangat dipengaruhi oleh faham  mazhab mereka. Begitupun yang terapat dalam aliran fikih.
Di dalam aliran fikih yang sangat terkenal adalah fiqih sunni, di mana di dalam fikih sunni terdapat imam mazhab sunni diantaranya Imam Hanafi, Imam Maliky, Imam Syafi'I, Imam Hambali. Dalam fiqih sunni, terutama yang dianut oleh empat mazhab yang mereka miliki banyak diikuti, adapun perbedaan yang terdapat pada setiap mazhab bukan pada hal aqidah tapi lebih pada tata cara ibadah.
Di dalam aliran fikih yang sangat terkenal adalah fiqih sunni, di mana di dalam fikih sunni terdapat imam mazhab sunni diantaranya Imam Hanafi, Imam Maliky, Imam Syafi'I, Imam Hambali. Dalam fiqih sunni, terutama yang dianut oleh empat mazhab yang mereka miliki banyak diikuti, adapun perbedaan yang terdapat pada setiap mazhab bukan pada hal aqidah tapi lebih pada tata cara ibadah.
 A.    Definisi Perkawinan Lintas Agama
Sebagaimana  telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama  adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita  yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang  beragama non-Islam.
Perkawinan  antar agama disini dapat terjadi (1) calon isteri beragama Islam,  sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun  musyrik, dan (2) calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri  tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik.
Islam  melarang keras laki-laki Muslim menikahi perempuan Musyrikh, hukum  Islam membagi agama-agama yang ada di dunia menjadi 2 bagian: a) Agama  Samawi; yakni agam yang berasal dari wahyu Allah kepada para Nabi untuk  disampaikan kepada umatnya. b) Agama Ardli; adalah agama yang berasal  dari manusia tanpa dasar dan petunjuk dari Allah, tanpa kitab dan tidak  mempunyai Nabi.
Terjadi  juga perbedaan pendapat mengenai orang alhi kitab itu disebut musyrik  atau bukan musyrik. Golongan Syi’ah berdasarkan pada surat  al-Baqarah:221. Mengatakan bahwa yang dinamakan wanita-wanita ahli kitab  itu termasuk kafir, karena wanita-wanita alhi kitab itu telah musyrik  (menyekutukan Allah). Dalam firman Allah surat Al-Mutahannah: 10 ;
“….Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir….”
Sebagaimana  telah dikemukakan di atas, bahwa mereka berpendapat, ahli kitab itu  termasuk orang-orang kafir. Dengan demikian hukumnya tetap diharmkan  menikahi orang ahli kitab.
Kalau  kita perhatikan pendapat Syi’ah (Imamiyah dan Zaidiyah), maka mereka  menganggap, bahwa ahli kitab itu musyrik. Akan tetapi di dalam al-Qur’an  sendiri dinyatakan banwa antara ahli kitab dan musyrik itu tidak sama,  sebagaiman firman Allah Al-Bayyinnnah: 6:
“  Orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan  bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada  mereka bukti yang nyata,”
Dalam ayat tersebut cukup jelas, bahwa ahli kitab dan musyrik itu berbeda.
B.     Hukum Perkawinan Lintas Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan Indonesia
Undang-undang  perkawinan yang mulai berlaku secara efektif tanggal 1 oktober 1975  mempunyai cirri khas kalu dibandingkan dengan hokum perkawinan  sebelumnya terutama dengan undang-undang atau peraturan perkawinan yang  dibuat oleh dan diwariskan oleh pemerintah colonial belanda dahulu yang  menganggap perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita hanyalah  hubungan sekuler, hubungan sipil atau perdata saja, lepas sama sekali  dengan agama atau hokum agama. Undang-undang perkawinan yang termaktub  dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 berasaskan agama. Artinya sah tidaknya  perkawinan seseorang ditentukan oleh hukum agamanya. Ini sesuai dengan  cita hukum bangsa Indonesia: Pancasila dan salah satu kaidah fundamental  Negara yaitu ketuhanan yang Maha Esa yang disebut dalam pembukaan dan  dirumuskan dalam batang Tubuh Undang Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1  bab Agama. Pasal 2 ayat 1 Undang Undang perkawinan dengan tegas  menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut  masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Anak  kalmiat “agamanya dan kepercayaannya itu” berasal dari ujung ayat 2  Pasa 29 Undang Undang dasar 1945, dibawah judul agama. Oleh karena itu  adalah tepat dan berasalan keterangan almarhum Bung Hatta pada waktu  Undang-Undang perkawinan di sahkan pada tahun 1974, seperti telah  disinggung di muka, bahwa perkataan kepercayaan dalam pasal 2 ayat 1   Undang-undang perkawinan yang berasal dari Undang-undang Dasar 1945 itu  adalah kepercayaan agama yang diakui eksistensinya dalam Negara Republik  Indonesia, bukan kepercayaan menurut aliran kepercayaan terhadap Tuhan  Yang Maha Esa. Kunci pemahaman yang benar tentang ini adalah: Pasal 29  UUD 1945 berada di bawah judul agama dan perkataan itu yang  terletak setelah perkataan “kepercayaan” dimaksud. Kepercayaan menurut  aliran kepercayaan adalah kepercayaan menurut agama. Oleh Karena itu  adalah logis kalau aliran kepercayaan ditempatkan di Derektorat Jendral  Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, bukan di Departemen  Agama.
Dengan  demikian, di dalam Negara Republik Indonesia, tidak boleh ada dan tidak  boleh dilangsungkan pernikahan di luar hukum agama atau kepercayaan  agama yang diakui eksistensinya yaitu Islam, Nasrani (baik Katolik  maupun Protestan), Hindu dan Buda di tanah air kita. Dan sebagai  Konsekuensi di anutnya asas bahwa perkawinan adalah sah kalu dilakukan  menurut hukum agama dan kepercayaan agama, maka segala sesuatu yang  berhubungan dengan perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum  agama yang dipeluk oleh warga Negara Republik Indonesia.
Tentang  perkawinan oran-orang berbeda agama, akalau dihubungkan dengan  Undang-undang Perkawinan (1974) terdapat beberapa pendapat, diantaranya  adalah:
1).  Pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan antara orang-orang yang  berbeda agama dapat saja dilangsungkan sebagai pelaksanaan hak asasi  manusia, kebebasan seseorang untuk menentukan pasangannya, hak dan  kedudukan suami istri yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan  pegaulan hidup bersama dalam masyarakat. Menurut pendapat ini,  perkawinan yang demikian dapat mempergunakan S. 1898 No. 158 tentang  perkawinan campuran peninggalan belanda dahulu sebagai landasan dan  mencatatkannya pada kantor Catatan Sipil di tempat mereka melangsungkan  pernikahan.
2).  Sedangkan Pendapat ini mengatakan bahwa UUD No. 1 Tahun 1974, tidak  mengatur perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda agama.  Menurut pendapat ini, perkawinan antar pasangan yang berbeda agama yang  saling jatuh cinta dan ingin menjalin hubungan dalam bentuk keluarga.  Karena itu, kata penganut pendapat ini, perlu dirumuskan ketentuan  hukunya. Daripada membiarkan kemaksiatan, lebih baik membenarkan atau  mengesahkan pernikahan orang-orang yang saling jatuh cinta itu, meskipun  keyakinan agama yang mereka anut berbeda.
3).  Pendapat  yang ketiga ini mengatakan bahwa perkawinan campuran antara orang-orang  yang berbeda agama tidak dikehendaki oleh pembentuk Undang-undang yaitu  Pemerintah dan DPR Republik Indonesia. Kehendak itu dengan tegas  dinyatakan dalam pasal 2 ayat 1 mengenai sahnya perkawinan dan pasal 8  huruf (f) mengenai larangan perkawinan. Dalam pasal huru (f)  Undang-undang perkawinan dengan jelas dirumuskan bahwa, “Perkawinan  dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya  atau peraturan yang beralaku dilarang kawin”. Artinya Undang-undang  Perkawinan melarang dialkukan atau disahkan perkawinan yang dilarang  oleh agama dan peraturan lain yang berlaku dalam Republik Indonesia.  Larangan yang tercantum dalam Undang-undang perkawinan ini Selaras  dengan larangan agama dan hukum masing-masing agama. Oleh karena itu  pula pembenaran dan pengesahan perkawinan campuran orang-orang yang  berbeda agama, selain dengan bertentangan dengan agama atau hukum agama,  sesungguhnya, bertentangan pula dengan Undang-undang Perkawinan yang  berlaku bagi segenap warga Negara dan penduduk Indonesia.
C.    Hukum Pernikahan Lintas Agama menurut Empat Mazhab
Sebagaimana  diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa hukum perkawinan antara  seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki  non-muslim, apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama  sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak sah. Akan  tetapi apabila perkawinan tersebut antara seorang laki-laki muslim  dengan wanita non-muslim baik ahlul kitab atau musyrik, maka para ulama  berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik dan ahlul  kitab tersebut. Dalam pembahasan terahir ini penulis akan mencoba  membahas tentang hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang  ulama mazhab empat, walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini  mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi,  untuk lebih jelas berikut pandangan keempat mazhab fiqh tersebut  mengenai hukum perkawinan lintas agama.
1.      Mazhab Hanafi.
Iman  Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan  wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan  mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab  tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting  adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini  yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai  seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga  orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang  percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh  dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi  atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja  menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada didarul  harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan  mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul  kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita  ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging  babi.
2.      Mazhab Maliki.
Mazhab  Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat  yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik  dzimmiyah ( Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri  yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi  wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si  isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan  meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh  mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi  berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Sad al Zariah (menutup  jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan  kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka  diharamkan.
3.      Mazhab Syafi’i.
Demikian  halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi  wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab  menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan  orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun  termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini  adalah :
1)   Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa lainnya.
2)    Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5  menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa  Israel.
Menurut  mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang  menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi  Rasul yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang  yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak  termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena tidak sesuai  dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.
4.      Mazhab Hambali.
Pada  mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini,  mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek  menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah  perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu  Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab  adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel. Saja, tapi menyatakan  bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi  Muhammad belum diutus menjadi Rasul.
 Kesimpulan
1.      Perkawinan  lintas agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau  seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang  pria yang beragama non-Islam (alh kitab atau Musyrik).
2.      pertama hukum  pernikahan campuran antara orang-orang yang berbeda agama, dengan cara  pengungkapannya, tidaklah sah menurut agama yang diakui keberadaannya  dalam Negara Republik Indonesia. Dan karena sahnya perkawinan didasarkan  pada hukum agama, maka perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama,  tidak sah pula menurut Undang-undang Perkawinan Indonesia. kedua Perkawinan  campuran antara orang-orang yang berbeda agama mengandung berbagai  konflik pada dirinya, sehingga dalam perkawinan campuran orang-orang  yang berbeda agama, tujuan perkawinan tersebut, sukar terwujud. Ketiga perkawianan  campuran antara orang-orang berbeda agama adalah penyimpangan dari pola  umum perkawinan yang benar menurut hukum agama dan Undang-undang  Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini  kendatipun ada kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan  sendiri. Keempat Pria atau Wanita yang akan melangsungkan  perkawinan campuran bebeda agama sebaiknya memeluk saja agama  pasangannya. Dengan begitu, perkawinan demikian berada di bawah naungan  satu agama mungkin dapat dibentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan  Ketuhanan Yang Maha Esa menurut masing-masing agama, di tanah air kita.
DAFTAR PUSTAKA
KH. Moenawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1955.
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000.
Muhammad Ali-Ash Shabuni, Rawaa’iyul Bayan, Semarang: CV. Adhi Grafika, 1993.
Muhammad Jawad al-Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Penerbit Lentera, 1996. 
 
 
 
 
 
 
